Ibrahimovic, Sang Matahari Tunggal

Berbicara soal pemain favorit di Juventus, nama Alessandro Del Piero pastilah menjadi bahan pembicaraan utama. Sosok tersebut seolah telah menjadi sebuah doktrin utama: “Barangsiapa mendukung Juventus, haruslah menjadikan Del Piero sebagai Tuhannya”. Tetapi bagi saya, ada satu nama lain yang seharusnya menjadi perhatian. Saya tidak sedang membicarakan para legenda atau pemain-pemain yang lama memperkuat Juventus. Saya sedang membicarakan Zlatan Ibrahimovic.

Sebelumnya saya memang sudah mengikuti perjalanan Zlatan Ibrahimovic semenjak bergabung di Ajax Amsterdam. Reputasi dari pria Swedia ini juga telah mencuri perhatian saya. Ibrahimovic memiliki segudang bekal untuk bisa mengejutkan dunia persepakbolaan saat itu. Tak salah apabila media-media di Belanda menjulukinya sebagai “The Next Van Basten”.

Zlatan Price since Malmö
Zlatan Price since Malmö

Tetapi untuk menjadi seorang bintang baru, skill dan kemampuan saja tak cukup. Dibutuhkan sebuah attitude yang mendukung. Beruntung, Ibra memiliki ego yang cukup besar. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi, ia mengatakan bahwa hanya ada satu “Zlatan” di dunia ini. “Anda tidak kenal dengan Zlatan?,” ucapnya sambil tersenyum.

Sebagian orang mungkin menyangka bahwa Ibra hanyalah salah satu pemain muda tengil yang bakalan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Tetapi bila Anda melihat gol spektakulernya ke gawang NAC Breda pada tahun 2004, maka dugaan tersebut adalah salah besar.

Bergabung ke Juventus

Ketika Ibrahimovic bergabung ke Juventus dengan mahar sekitar US$ 20 juta, saya adalah salah satu orang yang teramat kegirangan. Saya merasa bahwa pemain berdarah Bosnia-Kroasia ini akan menjadi salah satu ikon terpenting di Juventus. Bahkan saya sempat memprediksi bahwa Ibrahimovic akan mampu melewati popularitas Del Piero. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, ia memiliki segudang bekal untuk bisa menjadi pemain terbaik di dunia. Sangat beruntung bagi Juventus untuk bisa memiliki pemain selengkap Ibrahimovic.

Perjalanan Ibra di Juventus tidaklah semudah yang dibayangkan. Patut diingat, Juventus telah memiliki Trezeguet-Del Piero, duet terbaik lini depan sepeninggal Del-Pippo. Ibra memiliki pekerjaan rumah yang cukup menumpuk untuk bisa mengganggu kekekalan dua manusia tersebut di sektor ujung tombak. Beruntung Ibra mampu memanfaatkan cederanya Trezeguet dengan tampil hebat. Sebanyak 16 gol ia lesakkan ke gawang lawan selama musim 2004/2005. Hati saya merasakan sukacita yang amat mendalam pada saat itu.

Ibra and Trezegol should be together forever and ever.

Namun peruntungan Ibra berubah setelah Trezegol kembali ke dalam lapangan. Musim 2005/2006 Ibra harus rela tergeser. Dirinya ditempatkan lebih melebar di bagian sisi lapangan demi mendukung duet kekal Trezeguet-Del Piero. Hebatnya, Ibra tidak melakukan protes keras. Ia tetap tampil secara optimal. Catatan golnya memang berkurang, tetapi jumlah assist-nya kian meningkat. Ibra berhasil mengubah perannya di atas lapangan.

Kegemilangan Juventus dan Ibra pun pada akhirnya harus berakhir kala Juventus harus tersisih dari panggung Serie A. Ibra lebih memilih untuk pindah ke In*er dengan tebusan US$ 32 juta pada tahun 2006.

Ibra di luar Juventus

Lepas dari Juventus, Ibra seolah memiliki sebuah kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya adalah benar-benar sosok yang fenomenal, seorang atlet yang wajib dijadikan bahan perbincangan di media-media. Kemampuan dirinya kian terasah saat berkelana di klub-klub besar Eropa. Namun, Ibra tak selamanya mampu bersinar di setiap tempat yang ia jejaki.

Di In*er, Ibra menjadi seorang pemain sentral. Memang Adriano masih bercokol di sana, tetapi Ibra menunjukkan bahwa ia adalah satu-satunya raja di kota Milan. Segenap pemain Nerazzurri seolah hanya menjadi “dayang” yang bertugas untuk melengkapi segala kebutuhan Ibra. Potensinya berhasil dioptimalkan oleh seorang Jose Mourinho, seorang manajer yang juga memiliki ego sebesar planet Yupiter.

Tak salah apabila ia memutuskan untuk segera cabut dari kota Turin dan melangkah maju. Satu hal yang patut disayangkan adalah pilihannya untuk menandatangani kontrak di In*er.

Tetapi kecemerlangan Ibra kembali teredam kala beranjak pergi untuk merantau ke Spanyol. Berlabuh di FC Barcelona, sinar terang Ibra tertutup oleh kegemilangan Lionel Messi, Sang Mesias dari Argentina. Bila dilihat dengan mata telanjang, Ibra masih tetap memberikan aksi-aksi yang memikat mata dan penuh dengan determinasi. Tetapi statistik tak bisa dibohongi. Ia hanya mampu mencetak 16 gol dalam 29 pertandingan bersama Barcelona.

Bumbu perseteruannya dengan Pep Guardiola semakin memperkuat niatnya untuk hengkang. Kali ini, ia bergabung dengan AC Milan. Musim pertama ia jalani sebagai pemain pinjaman. Dari 29 pertandingan, Ibra hanya mampu mencetak 14 gol. Tetapi di musim berikutnya, Ibra menunjukkan tajinya. Sejarah pun berulang, ia menjadi pusat semesta dari AC Milan. Semua pemain Il Diavolo Rosso menjadi “hamba-hamba” yang bertugas untuk mengusung Ibra. Di sana, ia kembali menjadi bintang paling cemerlang.

Setelah puas berkelana, Ibra memutuskan untuk hadir di kota Paris dan bergabung bersama tim kecil yang mencoba untuk menjadi penguasa dunia, Paris Saint-Germain (PSG). Di klub tersebut, Ibra menunjukkan bahwa ia bukan sekedar matahari pusat semesta. Ibra adalah Tuhan di PSG. Banyak bintang-bintang yang bertebaran di daftar pemain klub Perancis tersebut, tetapi Ibra yang memiliki kuasa penuh. Bila ia bermain bagus, maka PSG meraih poin penuh. Bila ia bermain tidak maksimal, maka PSG akan seri atau kalah. (Hukum barusan tidak berlaku di Liga Champions).

Ibra Sang Matahari Tunggal

Selama perjalanan karirnya, Ibra menunjukkan bahwa dirinya harus dijadikan sebagai pusat dari segala-galanya. Tidak ada boleh matahari kembar di dalam tim Ibra. Juventus dan Barcelona adalah dua klub yang menjadi sejarah kelam di perjalanan karirnya. Saat ia bergabung, Juventus telah memiliki trio Del Piero-Trezeguet-Nedved dan Barcelona telah mempunyai trinitas Messi-Xavi-Iniesta. Kehadiran Ibra hanya akan merusak tatanan ideal di sana.

Ibra, The Only God Exist

Ibra adalah Slamet Rahardjo dan tidak akan pernah bisa menjadi Butet Kertaradjasa di acara “Sentilan-Sentilun”. Ibra adalah dewa di tengah beragamnya paham monoteistik sepakbola. Ibra bukanlah Maradona, Pele, atau Ronaldo baru di sepakbola modern. Ibra adalah satu-satunya di kancah sepakbola dunia.

Ibra dan Juventini

Akan ada banyak Juventini yang mengatakan bahwa saya terlalu naif untuk mengidolai seorang Ibrahimovic. Wajar saja, karena dirinya memilih untuk menyeberang ke sisi Milan Biru saat Juventus terpuruk di Serie B akibat terkena skandal Calciopoli. Akibat keputusannya tersebut, tak sedikit yang mengatakan bahwa Ibrahimovic adalah seorang pengkhianat yang tidak memiliki kesetiaan, seperti Del Piero, David Trezeguet, Pavel Nedved, dan juga Gianlugi Buffon.

Tetapi bagi saya, keputusan Ibrahimovic untuk pergi dari Juventus adalah sesuatu yang masuk akal, karena ia adalah seorang pemain potensial (usia 24 tahun pada saat itu) yang memiliki masa depan cukup cerah. Tak salah apabila ia memutuskan untuk segera cabut dari kota Turin dan melangkah maju. Satu hal yang patut disayangkan adalah pilihannya untuk menandatangani kontrak di In*er.