Giovinco L’eroe

Ada dua film yang berhasil menarik perhatian saya pada tahun 2014 silam. Pertama adalah “John Wick” yang bagi saya merupakan comeback terakbar Keanu Reeves setelah menjalani masa kepahitan di film “Man of Tai Chi” dan “The Drop”, karena Tom Hardy akan selalu menjadi salah satu aktor terhebat di atas bumi ini. Kedua film ini memiliki kemiripan dalam hal cerita, yaitu menceritakan soal seorang (ex) mafia, gangster, pembunuh bayaran, atau apa pun yang membuatnya memiliki “keterampilan” mengesankan, yang tengah menikmati masa-masa pensiunnya menjadi warga biasa. Continue reading

Butuh Trequartista? Sebut Saja Diego Ribas da Cunha!

Ketika Kalender Gregorian menunjukkan tanggal 1 Januari 2015, isu seputar rencana transfer musim dingin pun semakin menghangat. Juventus dikabarkan tengah mempersiapkan diri untuk menggaet seorang trequartista, gelandang serang yang berdiri di belakang dua striker. Hal ini sangatlah wajar, seiring dengan pergantian taktik yang dicanangkan oleh Massimiliano Allegri sejak akhir tahun 2014 silam. Meninggalkan 3-5-2, Allegri kini lebih doyan menggunakan 4-3-1-2. Tentu saja ada sesuatu yang hilang di dalam formasi tersebut. Ya, tepat sekali! Seorang trequartista. Continue reading

Mengakhiri Perjalanan Indah Sang Semut Atom dari Turin

Look, if you had one shot, or one opportunity
To seize everything you ever wanted.
One moment.
Would you capture it or just let it slip?

Sejarah kelam Eminem dalam menapaki karirnya di dunia seni rap, menjadi salah satu inspirasi dari lagu yang berjudul “Lose Yourself” ini. Di lagu ini, ia menceritakan betapa sulitnya mencari kesempatan untuk bisa tampil di publik. Gagal berkali-kali, tetapi sang protagonis di dalam lagu tersebut menolak untuk menyerah. Ia mengerti segala kelemahan yang ada dirinya, tetapi ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Ia hanya memiliki satu kesempatan yang datang sekali seumur hidup.

Sayangnya kesempatan adalah satu hal yang tidak kunjung datang menghampiri seorang Sebastian Giovinco. Continue reading

Dibaptis dalam Balutan Warna Hitam-Putih

Saya seharusnya menuliskan artikel ini jauh-jauh hari dan diletakkan di halaman awal sebagai pengantar, karena tulisan ini semestinya menjadi sebuah pengantar bagi para pembaca untuk mengenal siapa saya dan mengapa saya memutuskan untuk membuat blog bernama Gubuk Juventus. Namun hal ini harus saya tunda, karena saya justru mengalami kesulitan dalam merangkai kata-katanya. Kesulitan yang saya rasakan ini adalah sesuatu yang aneh, karena hampir semua blog, buku, dan karya tulis mana pun yang ada di dunia ini pastilah didahului oleh bab “Pendahuluan” atau “Kata Pengantar”.

Saya mengenal Juventus untuk pertama kalinya saat saya duduk di bangku SMP. Tak perlu saya sebutkan tahunnya, karena sejujurnya saya sendiri lupa. Saya memang sudah menyukai sepakbola dan sering memainkannya, tetapi saat itu saya belum mengenal satu pun klub-klub sepakbola. Saya masih terkena jam malam ketat yang diterapkan oleh orangtua. Jam 9 malam wajib tidur. Alhasil, saya pun tak punya kesempatan untuk menonton satu pun pertandingan sepakbola.

Namun seiring perjalanan waktu, teman-teman SMP saya berhasil menarik minat besar. Selain bermain sepakbola di lapangan basket sekolah, mereka terus-menerus membicarakan pemain-pemain yang saat itu cukup terkenal. Nama-nama seperti Continue reading

Kalau Bukan Vidal, Siapa Lagi?

Semakin mepetnya tenggat waktu transfer musim panas adalah salah satu momen yang paling ditunggu-tunggu oleh para penggemar dan pengamat sepakbola di seluruh dunia. Pasalnya, klub-klub ternama dipastikan akan memaksakan diri untuk melakukan pembelian pemain. Satu hal yang membuat saya ketar-ketir tentu saja keterlibatan Arturo Vidal di dalamnya, karena Manchester United dikabarkan masih tetap ngotot untuk mengejar tandatangan si pemain Cile ini, meskipun Juventus disebutkan telah menutup ruang negosiasi.

Tetapi bila melihat gelagat Juventus, kepergian Vidal hampir bisa dipastikan. Bila tidak musim ini, kemungkinan besar kita tidak akan bisa melihat gelandang enerjik ini di musim depan. Saya meyakini hal ini, karena Juventus tidak pernah takut untuk melepas pemain-pemain andalannya. Zinedine Zidane mungkin bisa dijadikan salah satu topik bahasan utama, karena dirinya saat itu dilepas dengan nilai transfer yang cukup tinggi, yaitu 46 juta pound sterling pada tahun 2001. Berbeda dengan Filippo Inzaghi dan Alessandro Del Piero yang dibiarkan pergi karena (dianggap) sudah tak lagi optimal untuk bekerja di dalam sistem permainan tim.

Kini sorot lampu tengah menaungi Vidal. Setelah berhasil tampil memukau di Piala Dunia 2014, sang pemain menjadi target utama Louis Van Gaal yang mendapat beban untuk mengangkat derajat klub Manchester merah. Menurut beberapa media, sang meneer dikabarkan membidik lima pemain sekaligus. Hingga detik ini, baru Marcos Rojo yang resmi bergabung. Menghadapi kenyataan ini, diprediksi Van Gaal akan tetap ngotot untuk mengajak Il Guerriero ke Old Trafford.

Namun lagi-lagi muncul pertanyaan, apakah La Fidanzata d’Italia akan melepaskan box-to-box midfielder terbaiknya? Jawaban atas hal tersebut tentunya harus memikirkan berbagai faktor – yang salah satunya tentu saja menyangkut uang dan profit, karena ini adalah dunia sepakbola modern yang segalanya berbau bisnis. Faktor lain yang bisa menjadi pertimbangan adalah kebutuhan dari taktik dan strategi dari sang pelatih baru, Massimiliano Allegri.

Pogba: Calm down, Now. Just calm down..!!

Kebiasaan Allegri

Untuk bisa sedikit membaca pikiran Allegri, saya ingin mencoba untuk mengutak-atik kebiasaan sang pelatih. Saya akan memulainya dari musim 2010/2011, musim pertama ia menangani AC. Dari data yang saya berhasil kumpulkan, saya melihat ada 4 (empat) pemain masuk di masing-masing lini (kecuali kiper). Di sisi lain terdapat 4 (empat) gelandang, 2 (dua) pemain bertahan, dan 5 (lima) penyerang yang keluar.

Di musim berikutnya, musim dimana Milan kehilangan pegangan akibat keluarnya Andrea Pirlo, masuk 8 (delapan) pemain tengah, 4 (empat) pemain belakang, dan 5 (lima) pemain depan baru. Di pintu gerbang Milan ada 5 (lima) pemain belakang, 4 (empat) penyerang, dan 5 (lima) pemain tengah yang memutuskan untuk pergi.

Musim 2012/2013 diawali dengan masuknya 5 (lima) pemain di masing-masing lini, kecuali kiper. Patut diberi catatan, bahwa musim ini juga menjadi ajang eksodus para pemain andalan dan juga veteran. Alessandro Nesta, Zlatan Ibrahimovic, Thiago Silva, Clarence Seedorf, Mark van Bommel, dan Gennaro Gattuso memutuskan untuk cabut dari tanah Milan. Bila dirangkum menjadi satu, terdapat 13 (tiga belas) pemain tengah, 4 (empat) bek, dan 6 (enam) penyerang yang keluar.

Setahun kemudian, Allegri memiliki pekerjaan rumah segudang disertai tekanan tingkat tinggi dari manajemen klub, karena Milan menampakan diri sebagai sebuah klub papan tengah. Tercatat 10 (sepuluh) pemain tengah – di antaranya Kaka dan Keisuke Honda – masuk ke dalam daftar pemain, ditambah dengan kehadiran 3 (tiga) pemain belakang dan depan. Terhitung 9 (sembilan) pemain tengah, 6 (enam) pemain depan, dan 4 (empat) pemain bertahan yang menyudahi perjalanannya di tetangga In*er ini. Sayang para petinggi sudah kadung tidak sabar. Performa Milan tak kunjung membaik. Allegri pun didepak dari kursi manajer.

Bila dirata-rata, maka selama melatih Milan, Allegri di setiap musimnya mendatangkan 6,75 pemain tengah, 4 pemain belakang, dan 4,25 pemain depan, serta melepaskan 7,75 pemain tengah, 3,75 pemain belakang, dan 5,25 pemain depan. Angka rata-rata arus masuk-keluar di lini tengah merupakan yang paling besar dibandingkan lini lainnya, meskipun arus keluar lebih banyak satu orang.

Probabilitas Vidal

Melihat dari perhitungan tersebut, maka saya berkesimpulan bahwa Allegri adalah salah satu pelatih yang juga berorientasi untuk memperkuat lini tengah, sekaligus memperlemahnya. Allegri banyak menyimpan potensi salah pembelian dan memaksanya untuk mencari peminat di bursa transfer. Antonio Nocerino, Rodney Strasser, Urby Emanuelson, dan Alberto Aquilani adalah beberapa contohnya. Selain itu, Allegri adalah tipe orang yang berani untuk kehilangan pemain kunci (lagi-lagi kita harus menyebut Pirlo), mirip dengan tradisi Juventus. Klop!

Lalu kesimpulan apa yang bisa ditarik dari perhitungan di atas? Tentu saja tidak ada, karena saya hanya melakukan hitung-hitungan yang teramat asal-asalan. Tidak ada satu pun kesimpulan yang bisa Anda ambil dari tulisan ini.

Best couple in J-Stadium

Terus apakah Vidal akan tetap keluar? Kalau Anda menanyakannya kepada saya, maka jawabannya adalah: “Iya!”. Meskipun Juventus masih amat membutuhkan kehadirannya untuk menjaga Pirlo, tetapi tentu saja kebutuhan akan dana segar tak bisa dikhianati begitu saja. Apalagi tersiar kabar bahwa kita tengah mengincar seorang pemain depan bernama Radamel Falcao, penyerang yang memiliki ketajaman luar biasa (saat bermain di Atletico Madrid).

Tetapi apakah Juventus membutuhkan penyerang baru saat ini? Untuk pertanyaan ini, saya akan kembali menjawab: “Ya!”, karena kita tidak bisa hanya mengandalkan Fernando Llorente dan Carlos Tevez semata. Di bangku cadangan kita hanya memiliki Alvaro Morata yang belum teruji dan Sebastian Giovinco yang angin-anginan. Idealnya sebuah tim wajib memiliki lima penyerang.

Lalu apakah Falcao adalah jawabannya? Saya tidak berani menjawabnya, karena lagi-lagi ini adalah kebutuhan dari tim. Kebutuhan tim di sini maksudnya adalah kebutuhan dalam hal taktik dan juga marketing. Tapi bagi saya pribadi, saya lebih baik mendatangkan seorang penyerang muda bertalenta yang memiliki skill dan kemampuan, namun masih rela untuk menjadi penghangat bangku cadangan.

Demikian pendapat asal-asalan saya terkait kepergian Arturo Vidal. Mudah-mudahan Anda tidak menuduh saya sebagai seorang Juventini yang kurang mengerti ilmu ke-Juventus-an.

Forza Juve!

Ibrahimovic, Sang Matahari Tunggal

Berbicara soal pemain favorit di Juventus, nama Alessandro Del Piero pastilah menjadi bahan pembicaraan utama. Sosok tersebut seolah telah menjadi sebuah doktrin utama: “Barangsiapa mendukung Juventus, haruslah menjadikan Del Piero sebagai Tuhannya”. Tetapi bagi saya, ada satu nama lain yang seharusnya menjadi perhatian. Saya tidak sedang membicarakan para legenda atau pemain-pemain yang lama memperkuat Juventus. Saya sedang membicarakan Zlatan Ibrahimovic.

Sebelumnya saya memang sudah mengikuti perjalanan Zlatan Ibrahimovic semenjak bergabung di Ajax Amsterdam. Reputasi dari pria Swedia ini juga telah mencuri perhatian saya. Ibrahimovic memiliki segudang bekal untuk bisa mengejutkan dunia persepakbolaan saat itu. Tak salah apabila media-media di Belanda menjulukinya sebagai “The Next Van Basten”.

Zlatan Price since Malmö
Zlatan Price since Malmö

Tetapi untuk menjadi seorang bintang baru, skill dan kemampuan saja tak cukup. Dibutuhkan sebuah attitude yang mendukung. Beruntung, Ibra memiliki ego yang cukup besar. Dalam sebuah wawancara dengan salah satu stasiun televisi, ia mengatakan bahwa hanya ada satu “Zlatan” di dunia ini. “Anda tidak kenal dengan Zlatan?,” ucapnya sambil tersenyum.

Sebagian orang mungkin menyangka bahwa Ibra hanyalah salah satu pemain muda tengil yang bakalan tenggelam dalam beberapa tahun ke depan. Tetapi bila Anda melihat gol spektakulernya ke gawang NAC Breda pada tahun 2004, maka dugaan tersebut adalah salah besar.

Bergabung ke Juventus

Ketika Ibrahimovic bergabung ke Juventus dengan mahar sekitar US$ 20 juta, saya adalah salah satu orang yang teramat kegirangan. Saya merasa bahwa pemain berdarah Bosnia-Kroasia ini akan menjadi salah satu ikon terpenting di Juventus. Bahkan saya sempat memprediksi bahwa Ibrahimovic akan mampu melewati popularitas Del Piero. Seperti yang sudah saya katakan sebelumnya, ia memiliki segudang bekal untuk bisa menjadi pemain terbaik di dunia. Sangat beruntung bagi Juventus untuk bisa memiliki pemain selengkap Ibrahimovic.

Perjalanan Ibra di Juventus tidaklah semudah yang dibayangkan. Patut diingat, Juventus telah memiliki Trezeguet-Del Piero, duet terbaik lini depan sepeninggal Del-Pippo. Ibra memiliki pekerjaan rumah yang cukup menumpuk untuk bisa mengganggu kekekalan dua manusia tersebut di sektor ujung tombak. Beruntung Ibra mampu memanfaatkan cederanya Trezeguet dengan tampil hebat. Sebanyak 16 gol ia lesakkan ke gawang lawan selama musim 2004/2005. Hati saya merasakan sukacita yang amat mendalam pada saat itu.

Ibra and Trezegol should be together forever and ever.

Namun peruntungan Ibra berubah setelah Trezegol kembali ke dalam lapangan. Musim 2005/2006 Ibra harus rela tergeser. Dirinya ditempatkan lebih melebar di bagian sisi lapangan demi mendukung duet kekal Trezeguet-Del Piero. Hebatnya, Ibra tidak melakukan protes keras. Ia tetap tampil secara optimal. Catatan golnya memang berkurang, tetapi jumlah assist-nya kian meningkat. Ibra berhasil mengubah perannya di atas lapangan.

Kegemilangan Juventus dan Ibra pun pada akhirnya harus berakhir kala Juventus harus tersisih dari panggung Serie A. Ibra lebih memilih untuk pindah ke In*er dengan tebusan US$ 32 juta pada tahun 2006.

Ibra di luar Juventus

Lepas dari Juventus, Ibra seolah memiliki sebuah kesempatan untuk membuktikan bahwa dirinya adalah benar-benar sosok yang fenomenal, seorang atlet yang wajib dijadikan bahan perbincangan di media-media. Kemampuan dirinya kian terasah saat berkelana di klub-klub besar Eropa. Namun, Ibra tak selamanya mampu bersinar di setiap tempat yang ia jejaki.

Di In*er, Ibra menjadi seorang pemain sentral. Memang Adriano masih bercokol di sana, tetapi Ibra menunjukkan bahwa ia adalah satu-satunya raja di kota Milan. Segenap pemain Nerazzurri seolah hanya menjadi “dayang” yang bertugas untuk melengkapi segala kebutuhan Ibra. Potensinya berhasil dioptimalkan oleh seorang Jose Mourinho, seorang manajer yang juga memiliki ego sebesar planet Yupiter.

Tak salah apabila ia memutuskan untuk segera cabut dari kota Turin dan melangkah maju. Satu hal yang patut disayangkan adalah pilihannya untuk menandatangani kontrak di In*er.

Tetapi kecemerlangan Ibra kembali teredam kala beranjak pergi untuk merantau ke Spanyol. Berlabuh di FC Barcelona, sinar terang Ibra tertutup oleh kegemilangan Lionel Messi, Sang Mesias dari Argentina. Bila dilihat dengan mata telanjang, Ibra masih tetap memberikan aksi-aksi yang memikat mata dan penuh dengan determinasi. Tetapi statistik tak bisa dibohongi. Ia hanya mampu mencetak 16 gol dalam 29 pertandingan bersama Barcelona.

Bumbu perseteruannya dengan Pep Guardiola semakin memperkuat niatnya untuk hengkang. Kali ini, ia bergabung dengan AC Milan. Musim pertama ia jalani sebagai pemain pinjaman. Dari 29 pertandingan, Ibra hanya mampu mencetak 14 gol. Tetapi di musim berikutnya, Ibra menunjukkan tajinya. Sejarah pun berulang, ia menjadi pusat semesta dari AC Milan. Semua pemain Il Diavolo Rosso menjadi “hamba-hamba” yang bertugas untuk mengusung Ibra. Di sana, ia kembali menjadi bintang paling cemerlang.

Setelah puas berkelana, Ibra memutuskan untuk hadir di kota Paris dan bergabung bersama tim kecil yang mencoba untuk menjadi penguasa dunia, Paris Saint-Germain (PSG). Di klub tersebut, Ibra menunjukkan bahwa ia bukan sekedar matahari pusat semesta. Ibra adalah Tuhan di PSG. Banyak bintang-bintang yang bertebaran di daftar pemain klub Perancis tersebut, tetapi Ibra yang memiliki kuasa penuh. Bila ia bermain bagus, maka PSG meraih poin penuh. Bila ia bermain tidak maksimal, maka PSG akan seri atau kalah. (Hukum barusan tidak berlaku di Liga Champions).

Ibra Sang Matahari Tunggal

Selama perjalanan karirnya, Ibra menunjukkan bahwa dirinya harus dijadikan sebagai pusat dari segala-galanya. Tidak ada boleh matahari kembar di dalam tim Ibra. Juventus dan Barcelona adalah dua klub yang menjadi sejarah kelam di perjalanan karirnya. Saat ia bergabung, Juventus telah memiliki trio Del Piero-Trezeguet-Nedved dan Barcelona telah mempunyai trinitas Messi-Xavi-Iniesta. Kehadiran Ibra hanya akan merusak tatanan ideal di sana.

Ibra, The Only God Exist

Ibra adalah Slamet Rahardjo dan tidak akan pernah bisa menjadi Butet Kertaradjasa di acara “Sentilan-Sentilun”. Ibra adalah dewa di tengah beragamnya paham monoteistik sepakbola. Ibra bukanlah Maradona, Pele, atau Ronaldo baru di sepakbola modern. Ibra adalah satu-satunya di kancah sepakbola dunia.

Ibra dan Juventini

Akan ada banyak Juventini yang mengatakan bahwa saya terlalu naif untuk mengidolai seorang Ibrahimovic. Wajar saja, karena dirinya memilih untuk menyeberang ke sisi Milan Biru saat Juventus terpuruk di Serie B akibat terkena skandal Calciopoli. Akibat keputusannya tersebut, tak sedikit yang mengatakan bahwa Ibrahimovic adalah seorang pengkhianat yang tidak memiliki kesetiaan, seperti Del Piero, David Trezeguet, Pavel Nedved, dan juga Gianlugi Buffon.

Tetapi bagi saya, keputusan Ibrahimovic untuk pergi dari Juventus adalah sesuatu yang masuk akal, karena ia adalah seorang pemain potensial (usia 24 tahun pada saat itu) yang memiliki masa depan cukup cerah. Tak salah apabila ia memutuskan untuk segera cabut dari kota Turin dan melangkah maju. Satu hal yang patut disayangkan adalah pilihannya untuk menandatangani kontrak di In*er.