Dibaptis dalam Balutan Warna Hitam-Putih

Saya seharusnya menuliskan artikel ini jauh-jauh hari dan diletakkan di halaman awal sebagai pengantar, karena tulisan ini semestinya menjadi sebuah pengantar bagi para pembaca untuk mengenal siapa saya dan mengapa saya memutuskan untuk membuat blog bernama Gubuk Juventus. Namun hal ini harus saya tunda, karena saya justru mengalami kesulitan dalam merangkai kata-katanya. Kesulitan yang saya rasakan ini adalah sesuatu yang aneh, karena hampir semua blog, buku, dan karya tulis mana pun yang ada di dunia ini pastilah didahului oleh bab “Pendahuluan” atau “Kata Pengantar”.

Saya mengenal Juventus untuk pertama kalinya saat saya duduk di bangku SMP. Tak perlu saya sebutkan tahunnya, karena sejujurnya saya sendiri lupa. Saya memang sudah menyukai sepakbola dan sering memainkannya, tetapi saat itu saya belum mengenal satu pun klub-klub sepakbola. Saya masih terkena jam malam ketat yang diterapkan oleh orangtua. Jam 9 malam wajib tidur. Alhasil, saya pun tak punya kesempatan untuk menonton satu pun pertandingan sepakbola.

Namun seiring perjalanan waktu, teman-teman SMP saya berhasil menarik minat besar. Selain bermain sepakbola di lapangan basket sekolah, mereka terus-menerus membicarakan pemain-pemain yang saat itu cukup terkenal. Nama-nama seperti Ivan Zamorano, Zvonimir Boban, dan Giuseppe Signori, sering terlontar dari mulut mereka. Tak jarang juga mereka berdebat seputar siapa pemain sepakbola terbaik saat itu.

Sinisa Mihajlovic

Sebagai seorang newbie, rasa penasaran pun langsung tumbuh. Saya mencoba ikut nimbrung dalam salah satu debat kusir soal siapa playmaker terbaik di masa itu. Seorang teman secara ngotot mempertahankan pendapatnya dan terus menyebut nama Juan Sebastian Veron, sedangkan yang lain secara konstan mengucap nama Rui Costa. Perdebatan pun melebar dan kini mereka membahas siapa penendang bola mati terbaik saat itu. Nama Sinisa Mihajlovic pun terlontar. Tak ada perdebatan. Mereka semua setuju mengangguk. Saya pun mengangguk, mengiyakan meskipun penuh tanda tanya di dalam kepala. “Siapa orang-orang yang mereka sebut?”.

Sesampainya di rumah, saya terus mencari tahu soal Sinisa Mihajlovic, seseorang yang berhasil menyatukan pendapat dari dua kubu yang berbeda. Saya sampai meminta duit jajan lebih ke orangtua dan membeli tabloid Bola. Dari situ saya mencoba untuk mencari siapa manusia yang disebut-sebut penendang bebas terbaik di seluruh dunia ini. Di hari itu juga, saya berhasil menemukan sebuah fakta baru. Sinisa Mihajlovic, pemain Lazio, bernomor punggung 11, berposisi sebagai pemain bertahan. Dari situ, saya makin tertarik untuk mempelajari nama-nama yang disebutkan oleh teman-teman saya tersebut, hingga melahap semua artikel yang ada di tabloid Bola terbitan hari Selasa tersebut.

Keesokan harinya, kedua teman saya tersebut kembali meributkan topik yang sama: siapa playmaker terhebat di saat itu. Nama Veron dan Rui Costa lagi-lagi terlontar. Entah apa yang saya pikirkan saat itu, saya memutuskan untuk ikut dalam perdebatan dan mencoba untuk memberikan paradigma baru. “Lo kenapa gak pernah ngebahas Zidane?,” sebuah kalimat yang terbukti menjadi sebuah blunder besar, karena mereka pun sepakat untuk mem-bully saya.

Cukup satu pertanyaan untuk membuat saya merenungkan nasib di toilet sekolah: “Emang Zidane main di klub mana?”. Saya saat itu belum mengenal Juventus.

Arus In*er Milan

Sekolah saya hanya mengenal dua agama pada saat itu, yaitu AC Milan dan In*er Milan. Juventus adalah kaum minoritas yang pantas menerima tekanan. Para pendukung Lazio, Napoli, dan Sampdoria bahkan lebih parah karena sudah dimasukkan ke dalam golongan yang diasingkan. Sebagai pemain baru, saya pun harus memilih satu di antara dua golongan mayoritas, semata-mata hanya untuk menyatakan eksistensi. Saya pun membuat keputusan – yang akan menjadi sebuah kesalahan terbesar yang saya buat semasa hidup. Saya memilih untuk menjadi pendukung In*er.

Saya harus mengakui bahwa keberadaan Ronaldo (The Phenomenon), Ivan Zamorano, dan Christian Vieri, cukup membuat silau mata. Bagi saya, mereka bertiga adalah penyerang terhebat yang ada di Serie A, sekaligus dunia. Tetapi seiring berjalannya waktu, kecintaan saya itu luntur begitu saja. Salah satu faktor menghilangnya rasa suka saya terhadap In*er adalah pelatihnya yang terus berganti-ganti. Dari hal tersebut, saya bisa mengambil kesimpulan bahwa klub ini sama sekali tidak memiliki sikap loyalitas, sebuah sikap yang sangat saya tentang hingga saat ini, apa pun alasannya. Jadi bila para petingginya saya tidak memiliki kesetiaan, saya pun merasa sangat enteng untuk meninggalkan klub tersebut. Momen tersebut adalah momen ketika saya menjadi seorang atheist di dunia sepakbola.

Ketika saya mengalihkan pandangan dari In*er, saya pun menonton secara random pertandingan-pertandingan tim Italia. Jujur saya sempat jatuh cinta kepada Gabriel Batistuta saat menjadi Tuhan di Fiorentina, namun takdir berkata lain. Saat itu secara tidak sengaja saya menonton sebuah tim yang memiliki komposisi terhebat di segala lini, mulai dari kiper, pemain bertahan, tengah, hingga depan. Angelo Peruzzi, Ciro Ferrara, Alessandro Birindelli, Paolo Montero, Edgar Davids, Alessio Tacchinardi, Didier Deschamps, Antonio Conte, Zinedine Zidane, dan tentu saja duet maut Alessandro Del Piero dan Filippo Inzaghi.

Telisik punya telisik, saya mengerti bahwa ini adalah Juventus, sebuah tim dari golongan minoritas di SMP saya. Namun saya langsung tertarik dengan tim ini, karena memiliki komposisi tim yang serba lengkap. Juventus bagi saya adalah Dream Theater – penuh energi, tetapi memiliki lekukan-lekukan aneh di beberapa bagian komposisi permainannya. Tak perlu melakukan headbang, tetapi kita hanya harus rileks dan menikmati segala melodi yang dihasilkan oleh permainan Juventus di lapangan hijau.

Setelah mempelajari sejarah Juventus yang sangat kaya (salah satunya adalah pemenang Lega Calcio Serie A terbanyak hingga detik ini), saya pun menyerahkan diri untuk dibaptis dengan warna hitam-putih. Hingga saat ini, saya pun masih memiliki iman bahwa Juventus-lah yang paling benar, di atas “agama-agama” lainnya di ranah sepakbola.

Gubuk Juventus

Sejarah membuktikan bahwa cinta yang terlalu lama disimpan, justru akan membawa kepahitan. “Tell her if you love her,” begitu kata para bijak. Oleh karena itu, saya pun memutuskan untuk memberitahu kepada dunia soal rasa cinta saya yang begitu besar kepada Si Nyonya Tua. Gubuk Juventus adalah salah satu media terbaik bagi saya untuk bisa menyalurkan apa yang saya rasakan selama mengikuti perkembangan Juve di berbagai kompetisi.

Oleh karena itu, terimalah Gubuk Juventus sebagai bentuk persembahan cinta saya kepada Juventus.

Forza Juve

Leave a comment