Mengakhiri Perjalanan Indah Sang Semut Atom dari Turin

Look, if you had one shot, or one opportunity
To seize everything you ever wanted.
One moment.
Would you capture it or just let it slip?

Sejarah kelam Eminem dalam menapaki karirnya di dunia seni rap, menjadi salah satu inspirasi dari lagu yang berjudul “Lose Yourself” ini. Di lagu ini, ia menceritakan betapa sulitnya mencari kesempatan untuk bisa tampil di publik. Gagal berkali-kali, tetapi sang protagonis di dalam lagu tersebut menolak untuk menyerah. Ia mengerti segala kelemahan yang ada dirinya, tetapi ia tidak ingin melewatkan kesempatan ini. Ia hanya memiliki satu kesempatan yang datang sekali seumur hidup.

Sayangnya kesempatan adalah satu hal yang tidak kunjung datang menghampiri seorang Sebastian Giovinco. Continue reading

Mencari Pengganti Pirlo

Bergabungnya Andrea Pirlo pada tahun 2011 silam merupakan sebuah kado terindah bagi saya dan semua pendukung Juventus. Tidak ada alasan untuk menolak kehadiran seorang pemain jenius yang ahli dalam bidang pengolahan dan pengoperan bola. Sebagai bukti, ia menjadi sosok terpenting, bahkan menjadi pusat dalam skema permainan Antonio Conte. Kelebihannya dalam menerawang dan memindai lapangan, serta membuka peluang bagi rekan-rekannya adalah salah satu faktor mengapa Pirlo mendapatkan sebutan Il Professore – Sang Profesor – dari pendukung Juventus. Continue reading

El Arquitecto Hilang, Dua Terbilang

Membicarakan soal masa depan seorang Andrea Pirlo bagi saya adalah sesuatu hal yang cukup menarik. Dalam artikel pertama Gubuk Juventus, saya sempat memprediksi nasib sang maestro setelah Juventus memastikan kedatangan Massimiliano Allegri sebagai pengganti Antonio Conte. Di sana saya sempat mengatakan bahwa Pirlo memiliki kans kecil untuk bisa bertahan di starting XI, bahkan untuk tetap berada di daftar skuad Juventus. Selain karena Allegri sempat melepasnya dari Milan, gaya bermain Pirlo disebut-sebut tidak terlalu cocok dengan Allegri.

Awan mendung yang menaungi Pirlo pun tak kunjung pergi. Di saat liga Italia mulai bergulir, pemegang nomor 21 ini mengalami cedera. Namanya tidak terlihat di daftar skuad Juventus saat menjalankan laga-laga pertama Serie A. Saat itu saya berpikir bahwa ini adalah salah satu pertanda berakhirnya era Pirlo di Juventus. Terlebih ketika Marchisio yang didaulat Allegri untuk menggantikan Pirlo berhasil memberikan sebuah permainan yang cukup baik, meskipun bukan sebagai deep-lying playmaker. Tetapi keberadaan mantan pemain Atalanta ini mampu memberikan warna yang berbeda di Juventus, warnanya Allegri.

The Architect. The Maestro. Andrea Pirlo.

Juventus era Conte adalah Juventus yang amat bergantung pada seorang Pirlo. Sangat jarang Conte meminta Pirlo untuk memulai pertandingan dari bangku cadangan atau tidak memainkannya sama sekali. Saat menyusun serangan, setiap pemain hampir dipastikan memberikan bola kepada Pirlo. Di sana Pirlo akan menganalisa setiap jengkal lapangan, lalu melepaskan umpan-umpan terarah dengan beragam variasinya. Kecil kemungkinan bola tersebut tidak mencapai sasaran. Tak berlebihan bila ada yang menyebutnya sebagai seorang penyihir.

Berbeda dengan Marchisio yang diminta untuk mengisi posisi sentral lapangan tengah, selama Pirlo beristirahat. Calon kapten Juventus ini memiliki tendensi untuk mengoper bola secara langsung, tanpa perlu berlama-lama mengolahnya. Begitu melihat rekan yang tanpa penjagaan atau yang memiliki kesempatan, Marchisio dipastikan akan langsung memberikan bola kepadanya. Amat jarang saya melihatnya menahan dan menganalisa. Marchisio jelas bukan tipe playmaker. Ia adalah seorang gelandang tradisional yang disiplin. Tak salah bila Allegri memberi peran sebagai si pengangkut air. Continue reading

Nol Poin di Kota Genoa, Juve Kehilangan Energi

Penampilan Juventus yang sedikit kurang meyakinkan di beberapa pertandingan terakhir akhirnya menuntun kepada kekalahan. Apa yang terjadi di kota Genoa pada 30 Oktober 2014 dini hari, adalah sesuatu yang sudah saya prediksikan sebelumnya. Hasil negatif kala bersua Atletico Madrid dan Olympiakos di Champions League, lalu disusul oleh kegagalan meraup poin maksimal saat bertemu Sassuolo, adalah rentetan pertanda bahwa kita tengah dilanda sebuah masalah yang cukup pelik.

Bila Anda mengikuti blog Gubuk Juventus, maka Anda pasti akan merasa bosan dan sedikit eneg, karena saya kerap mempermasalahkan efektivitas dalam penyelesaian akhir. Tetapi nyatanya efektivitas pula yang membuat kita terjerembap di Luigi Ferraris. Saya tidak akan menyebutnya dengan ungkapan “krisis”, tetapi bila tidak diatasi hingga akhir tahun 2014, maka jangan terkejut bila bukan Juve yang akan menjadi pemuncak klasemen di akhir musim.

Rekor Melawan Rekor

Segenap Juventini di seluruh dunia pastilah dilanda sebuah euforia, karena seperti yang sudah kita ketahui, bahwa Gianluigi Buffon telah bermain untuk yang ke-500 kalinya bersama Juventus. Tentu saja ini adalah sebuah catatan yang sangat membanggakan dan akan menjadi sebuah modal mental yang cukup berarti untuk dibawa melawat ke kandang lawan. Namun tak hanya Buffon yang berhasil mencetak angka statistik luar biasa, karena Genoa pun memiliki prestasi yang pantas dijadikan perhatian. Continue reading

Paska Palermo: Fleksibilitas Allegri dan Ketahanan Mental Juve

Kemenangan Juventus atas Palermo baru-baru ini dikaitkan dengan istilah “kebangkitan”, karena kita baru saja mengalami kepahitan saat dikalahkan 0-1 oleh Olympiakos di Yunani. Meskipun pertandingan melawan Palermo penting untuk bisa mempertahankan tren positif di Serie A, tetapi sejujurnya Juventus baru saja menjalani pertandingan yang cukup mudah.

Secara keseluruhan Juventus berhasil menguasai seluruh lapangan sepanjang babak pertama dan babak kedua. Hampir tidak ada perlawanan berarti yang dibuat oleh sang lawan di Juventus Stadium. Palermo hanya sesekali membuat ancaman lewat strategi serangan balik, salah satunya sempat memaksa Buffon untuk melakukan tepisan. Setelah itu, waktu terasa berjalan begitu lama, karena pertandingan terlihat sangat membosankan.

Vidal the King.

Pendapat saya di atas didasari oleh penampilan Palermo yang sama sekali tak istimewa. Gol yang dibuat Vidal bahkan bisa disebut sebagai hasil dari human error pemain Palermo, sehingga bola pun mampu diserobot oleh Pereyra yang langsung memberikannya kepada Tevez, lalu diteruskan kepada Vidal.

Gol kedua Juve merupakan sesuatu torehan yang spesial bagi dua orang pemain, yaitu Llorente dan Pirlo. Gol tersebut menandakan usainya masa paceklik bagi kedua pemain tersebut, karena Llorente membikin gol pertamanya musim 2014/2015, sedangkan Pirlo memberikan assist pertamanya semenjak sembuh dari cedera. Continue reading

Dibaptis dalam Balutan Warna Hitam-Putih

Saya seharusnya menuliskan artikel ini jauh-jauh hari dan diletakkan di halaman awal sebagai pengantar, karena tulisan ini semestinya menjadi sebuah pengantar bagi para pembaca untuk mengenal siapa saya dan mengapa saya memutuskan untuk membuat blog bernama Gubuk Juventus. Namun hal ini harus saya tunda, karena saya justru mengalami kesulitan dalam merangkai kata-katanya. Kesulitan yang saya rasakan ini adalah sesuatu yang aneh, karena hampir semua blog, buku, dan karya tulis mana pun yang ada di dunia ini pastilah didahului oleh bab “Pendahuluan” atau “Kata Pengantar”.

Saya mengenal Juventus untuk pertama kalinya saat saya duduk di bangku SMP. Tak perlu saya sebutkan tahunnya, karena sejujurnya saya sendiri lupa. Saya memang sudah menyukai sepakbola dan sering memainkannya, tetapi saat itu saya belum mengenal satu pun klub-klub sepakbola. Saya masih terkena jam malam ketat yang diterapkan oleh orangtua. Jam 9 malam wajib tidur. Alhasil, saya pun tak punya kesempatan untuk menonton satu pun pertandingan sepakbola.

Namun seiring perjalanan waktu, teman-teman SMP saya berhasil menarik minat besar. Selain bermain sepakbola di lapangan basket sekolah, mereka terus-menerus membicarakan pemain-pemain yang saat itu cukup terkenal. Nama-nama seperti Continue reading

Juventus Paska AS Roma: Tuduhan Kontroversi Tanpa Dasar

Tujuan saya membuat blog ini adalah untuk menumpahkan segala pikiran objektif saya seputar tim Juventus. Oleh karena itu, butuh waktu yang cukup lama untuk bisa menuliskan review dari laga Juventus vs Roma yang berlangsung pada hari Minggu, 5 Oktober 2014 silam. Pasalnya, cukup banyak kontroversi yang terjadi di hampir setiap menitnya.

Banyak pihak memandang bahwa wasitlah yang pantas ditunjuk menjadi kambing hitam munculnya suara-suara negatif. Gianluca Rocchi beberapa kali dipandang melakukan blunder dalam membuat keputusan yang krusial. Tetapi apakah blunder yang dibuat Rocchi pada akhirnya menguntungkan Juventus? Sebaiknya kita berpikir dua kali.

Blunder Wasit

Juventus memang sudah akrab dengan yang namanya kontroversi dan bau kecurangan. Seorang teman saya bahkan begitu membenci Juventus (ia mengaku pendukung AC Milan, tetapi terlihat jarang menonton Lega Calcio Serie A) Continue reading

Juventus vs. Cesena, Kesempatan Allegri Kembangkan Kreativitas

Kemenangan Juventus atas Milan pada akhir pekan silam telah berhasil membuktikan bahwa Si Nyonya Tua masih menjadi salah satu penantang utama di kancah Serie A musim ini. Suara-suara yang meragukan Allegri pun terdengar semakin berkurang, meskipun sebagian lainnya masih menunjukkan sikap skeptis terhadapnya (termasuk saya). Namun perjalanan kita masih jauh dari kata selesai. Juventus saat ini justru baru saja memulai petualangan yang sebenarnya, karena jadwal padat dan lawan-lawan yang semakin berat telah menunggu dalam beberapa pekan ke depan.

I desperately wanna see Coman plays.
I desperately wanna see Coman plays.

Pada tanggal 1 Oktober mendatang, Atletico Madrid telah menanti di kandangnya. Sekembalinya ke Turin, AS Roma sudah datang untuk menantang kita di Juventus Stadium pada 5 Oktober 2014. Bila melihat jadwal barusan, bisa dibilang kita hanya memiliki waktu selama kurang dari 4 hari untuk beristirahat. Jadwal ketat lainnya adalah ketika kita harus berangkat ke Yunani untuk meladeni Olympiakos Piraeus (22/10/14), pulang ke Italia untuk menangani Palermo (26/10/14) dan Genoa (29/10/14). Sungguh sebuah jadwal yang sangat padat.

Seperti yang telah kita ketahui, para manajer biasanya akan menerapkan sistem rotasi demi menjaga kebugaran para pemainnya, sekaligus menambah jam terbang untuk para pemain cadangan. Hal yang sama juga diprediksi akan dilakukan oleh Allegri. Beberapa pengamat sempat mengatakan bahwa laga melawan Cesena akan menjadi momen yang tepat untuk memanaskan otot-otot para pemain yang belum pernah menjalani pertandingan resmi dalam waktu yang optimal.

Sayangnya, Allegri menolak mentah-mentah prediksi tersebut. Ia bahkan menegaskan bahwa ia akan tetap menggunakan tim yang sama, karena ia tidak ingin mengubah proporsi the winning team. Bila ucapan Allegri terbukti, maka ia tetap menggunakan sistem 3-5-2. Perubahan minor akan tetap dilakukan demi mengisi posisi-posisi yang ditinggalkan oleh Martin Caceres dan juga Arturo Vidal yang cedera, yaitu dengan memasang Angelo Ogbonna dan Roberto Pereyra di plotnya masing-masing.

Tetapi bagi saya pribadi, saya sangat setuju dengan berbagai pendapat yang mengatakan bahwa ini adalah waktu yang tepat untuk sedikit berjudi dengan melakukan ekperimen. Allegri bisa mencoba formasi andalannya semasa di AC Milan, yaitu 4-3-3. Alasan saya sangat sederhana, karena pertandingan melawan Cesena (dengan segala hormat) bisa dibilang cukup mudah. Tiga angka adalah target minimal yang sepertinya tidak akan sulit untuk dicapai.

Formasi 4-3-3

Allegri sendiri sebenarnya telah mengaplikasikan formasi dengan menggunakan empat pemain bertahan di hampir semua pertandingan Juventus. Beberapa kali terlihat jelas bahwa Claudio Marchisio turun untuk menjadi bek keempat saat kita menyusun dan menghadapi serangan. Tetapi tentu saja perubahan tersebut hanya bersifat sementara karena Juventus akan kembali ke posisi awal atau bahkan kerap berubah menjadi 3-3-1-3, karena Paul Pogba dan Pereyra/Vidal yang maju ke area pertahanan lawan, meninggalkan Tevez yang sibuk berlari mencari bola.

We definitely use 4 defenders in a 3-5-2 formation. (pic via: @OssimoroJu29ro)
We definitely use 4 defenders in a 3-5-2 formation.
(pic via: @OssimoroJu29ro)

Allegri juga seharusnya mencoba formasi andalannya di pertandingan-pertandingan resmi, mengingat kita memiliki materi yang cukup lengkap. Bila melakukan hal ini, anak-anak Juventus tidak lagi membutuhkan waktu yang cukup lama untuk menyesuaikan diri. Selain itu, Allegri juga memiliki banyak stok strategi sesuai dengan kebutuhan tim dan juga memberikan jam terbang yang layak bagi para penghangat bangku cadangan.

Andaikan Allegri memainkan 4-3-3 atau 4-3-2-1, saya bisa melihat Romulo sebagai bek kanan, menggantikan Stephan Lichtsteiner. Patrice Evra bisa menggantikan Kwadwo Asamoah di sisi kiri, meskipun performanya hingga saat ini masih belum maksimal, entah karena belum bisa menyesuaikan diri atau memang usia yang tidak bisa berdusta. Leonardo Bonucci dan Angelo Ogbonna sudah diduetkan, mengingat penampilan dari nama terakhir terlihat semakin matang dibandingkan musim lalu.

Di sektor tengah, trio Marchisio-Pogba-Pereyra sepertinya masih akan diandalkan. Andaikan Vidal bermain, ia tidak akan bermain penuh atau justru menjadi pemain pengganti di babak kedua. Di lini depan, duo Fernando Llorente dan Carlos “Pitbull” Tevez tidak akan bisa diganggu-gugat untuk sementara waktu. Sebastian Giovinco atau Kingsley Coman bagi saya pribadi patut dijadikan pilihan utama untuk menambah penetrasi ke daerah lawan, karena Alvaro Morata yang kabarnya belum 100% fit.

Khusus untuk sektor depan, Allegri seharusnya mulai berani untuk mencoba formula baru, mengingat rendahnya tingkat efektivitas kita di depan gawang. Bila saya bermain di game Football Manager, maka saya akan memainkan Llorente yang diapit oleh Giovinco-Tevez demi memanfaatkan kecepatan dan akselerasi. But hell, I’m no manager anyway.

Kesempatan Allegri

Sejauh ini, Allegri masih belum menunjukkan tanda-tanda akan melakukan perubahan secara besar-besaran. Ia masih setia menggunakan formasi 3-5-2, meskipun kita telah bisa melihat bahwa dirinya telah melakukan sedikit perubahan di berbagai sisi, terutama cara bermain tim. Ketidakinginannya untuk mengubah the winning team memang sebuah alasan yang sangat masuk akal, mengingat Juventus telah berhasil mendulang angka dengan menggunakan susunan tersebut.

Meskipun begitu, saya merasa yakin bahwa Allegri akan tetap melakukan improvisasi di sana-sini. Morata memiliki kans besar untuk tampil di starting IX, meskipun hampir tidak mungkin Allegri memecah duet maut Llorente-Tevez. Evra sudah hampir pasti akan bermain menggantikan Asamoah di sisi kiri.

Prediksi saya: Juventus bakal menang tanpa kebobolan satu gol pun. Tetapi bila kita hanya menang 1-0, maka sebaiknya kita harus mulai memberikan kepercayaan pada Giovinco.

Forza Juve..!!

Juventus Paska Malmo FC dan AC Milan: Antara Andrea Pirlo dan Carlos Tevez

Saya memang memutuskan untuk tidak menulis kesan dan pendapat usai kita menjalani pertandingan pertama di Champions League pekan lalu, karena hati dan pikiran saya tidak benar-benar berada di sana saat Juventus melawan Malmo FC. Selain karena saya yakin kita akan mampu menang di kandang sendiri saat melawan sebuah (dengan segala hormat) tim kecil dari Swedia, saya juga amat menanti-nantikan sebuah big match yang akan digelar di Stadion San Siro, kandang AC Milan.

Lagipula, pertandingan Juventus vs Malmo juga tidak disiarkan di stasiun TV lokal dan saya memilih untuk tidak menghabiskan uang demi berlangganan TV kabel.

Ada beragam faktor yang membuat saya lebih tertarik menyaksikan pertandingan Milan vs Juventus. Dua di antaranya adalah: Milan saat ini ditangani oleh Filippo Inzaghi, seorang penyerang yang sempat dicintai oleh para pendukung Juventus, dan kembalinya Massimiliano Allegri ke pangkuan San Siro di bawah bendera Juventus. Dua faktor inilah yang membuat saya amat tertarik, hingga saya pun patut bersyukur karena pertandingan ini disiarkan oleh Kompas TV.

Namun untuk bisa mendapat gambaran soal bagaimana pertandingan akan berjalan, tentunya saya harus membuat sebuah perbandingan. Saya pun menyisakan waktu untuk menonton kembali jalannya pertandingan Juventus kala menjamu Malmo FC, 2 x 45 menit. Di sana, saya menyaksikan sebuah Juventus yang telah mengalami perubahan total. Dengan dikapteni oleh Gianluigi Buffon, saya menjadi saksi revolusi yang dijalankan oleh Allegri.

Perubahan total

Saya tahu saya telah bolak-balik menyebut kata “perubahan” di tulisan-tulisan saya terdahulu. Saya juga sadar bahwa saya telah secara konsisten meragukan kemampuan Allegri. Namun di pertandingan Champions League perdana, saya melihat bahwa Juventus tengah berjalan ke arah yang lebih baik, dengan Allegri berada sebagai belakang setir dan Claudio Marchisio sebagai pusatnya. Ketiadaan Pirlo di tengah-tengah lapangan seolah tak lagi menjadi sesuatu yang patut dikhawatirkan.

Juventus benar-benar mengandalkan team-work yang dipadu-padankan dengan dinamika penuh determinasi. Allegri menempatkan gelandang-gelandang enerjik di bagian tengah. Marchisio, Paul Pogba, dan Kwadwo Asamoah yang biasa beroperasi di sayap kiri, menjadi trisula pemegang kendali permainan. Alur perpindahan bola terlihat lebih cepat dibandingkan saat Pirlo berada di tengah sambil mengendalikan permainan.

Allegri juga menginstruksikan serangan berlapis. Saya dapat melihat Pogba yang ditugaskan untuk membantu Stephan Lichtsteiner untuk menguasai sisi kanan lapangan dan Asamoah menyokong Patrice Evra di bagian kiri.

Ketiadaan Pirlo di tengah-tengah lapangan seolah tak lagi menjadi sesuatu yang patut dikhawatirkan.

Di pertandingan tersebut, Pogba berhasil membuktikan bahwa dirinya adalah seorang pemain yang sangat berbakat dan seperti memiliki segalanya. Pergerakannya dalam menjelajah kanan lapangan dan melakukan penetrasi ke dalam kotak pertahanan lawan amat didukung oleh staminanya yang luar biasa. Kaki yang jenjang seolah mendukung dirinya untuk berlari dan menutup ruang-ruang kosong.

Asamoah juga berhasil memberikan energi baru di lini tengah dan berhasil melakukan tugasnya dengan baik, karena sebenarnya ini adalah posisi aslinya selama bermain di Udinese. Tanpa mengecilkan peran Pogba, tetapi menurut saya pribadi Asamoah-lah yang patut mendapatkan apresiasi lebih. Pasalnya, ia harus membantu seorang Evra yang masih belum benar-benar menyatu dengan tim dan mulai kehilangan staminanya karena dimakan usia, meskipun saya masih bisa melihat kengototannya dalam bermain.

Performance Stats

Sistem kerja ini juga dipakai oleh Allegri kala meladeni tantangan Milan di kandangnya sendiri. Tak ada perubahan signifikan yang dilakukan oleh Max. Ia hanya kembali menempatkan Asamoah di sayap kiri dan meletakkan Pogba sebagai “pembantu”-nya. Di sisi kanan, masih ada Lichtsteiner yang kali ini dibantu oleh Roberto Pereyra. Melalui struktur barusan, lagi-lagi lini tengah Juventus membuat saya cukup terkagum-kagum.

Selama melawan Milan, terlihat jelas bahwa kita berhasil menguasai lini tengah. Pereyra dan Pogba adalah dua orang yang rajin membantu serangan dan tak lupa menjaga daerahnya kala kehilangan penguasaan bola. Kinerja Licht dan Asamoah sangat terbantu dengan kehadiran Pereyra dan Pogba.

Bahkan secara sekilas (tanpa bermaksud untuk melebih-lebihkan), saya berani menyejajarkan Pereyra dengan Arturo Vidal, karena berdasarkan pertandingan melawan Milan kemarin ia tak hanya menutup kekosongan yang ditinggalkan oleh Vidal, tetapi juga memberikan sebuah penampilan yang setara dengan gelandang Chile tersebut.

Saya akan menuliskan sedikit pendapat saya soal Pereyra dalam tulisan yang terpisah.

Carlitos Tevez is God

Di dalam salah satu twit, saya sempat menyebutkan bahwa Carlos Tevez adalah Edgar Davids yang telah hilang. Dalam pertandingan melawan Malmo, Tevez seolah selalu hadir di manapun dan kapanpun. Energinya seolah tak pernah habis. Ia seperti seekor anjing pitbull yang telah lama dikekang oleh sang pemilik dengan rantai besi dan menemukan kembali kebebasannya.

Tevez berlari tanpa henti. Ia tak segan menjemput bola, bahkan terkadang hingga ke area pertahanan. Berkat pergerakannya tersebut, Juventus seolah bermain dengan pola 3-6-1 atau bahkan 4-5-1. Memang hal ini tidak terlalu istimewa. Dirinya telah melakukan hal yang sama saat masih berseragam Manchester Merah dan juga Manchester Biru, tetapi secara jelas kita bisa melihat bahwa 10 pemain Juventus menjadi lebih bersemangat, karena Tevez layaknya seorang Tuhan yang ada dimana-mana.

A pitbull was unleashed.

Performa yang sama ditunjukkan Tevez saat hadir di San Siro. Pemain yang tidak masuk ke dalam daftar skuad Argentina di Piala Dunia 2014 ini menjelma menjadi seekor anjing nan ganas. Bola yang berada di kaki pemain Milan selalu ingin direbutnya, karena ia ingin bermain fetch ‘n catch. Ia berhasil memanfaatkan determinasi yang dimilikinya dengan tim yang menjalankan kerjasama antar lini dengan serba cepat dan rancak.

Gol yang Tevez merupakan hasil dari kerjasamanya dengan Pogba. Bila diperhatikan, proses terjadinya gol sedikit mirip dengan yang dibuat Tevez kala menjebol gawang Malmo untuk pertama kalinya. Juventus kini lebih mengandalkan determinasi lewat gelandang-gelandang enerjik yang pragmatis. Serba cepat, meskipun saya merasa bahwa lini tengah kita masih kurang kreatif.

Terlelap euforia

Saya saat ini berani mengatakan bahwa kita telah kembali ke trek yang benar. Allegri masih dalam proses pembuktian diri, tetapi bagi saya dua pertandingan terakhir patut diapresiasi. Milan bagi saya bukan lawan yang benar-benar kuat di Serie A musim ini. Kita masih belum melalui ujian yang sebenarnya.

Statistik Milan vs Juventus
We only lost in shot accuracy and duels. The rest is we’re at our best.

Roma dan Inter adalah dua klub yang tengah memperbaiki diri. Mereka berdua adalah lawan sepadan untuk menguji kekuatan Juventus yang sebenar-benarnya. Kita juga masih harus menghadapi tantangan yang diberikan oleh Locomotive Moscow dan Atletico Madrid di Champions League. Artinya, saya masih belum bisa lepas dari apatisme. Tetapi dua pertandingan terakhir cukup membuat saya merasa optimis.

Ini masih awal-awal liga. Kita masih harus memberikan segalanya, bukan maksimal, tetapi secara optimal. Forza Juve..!!

No Pirlo, Got Marchisio

Saya sempat memaparkan keraguan saya terhadap seorang Max Allegri kala ditunjuk untuk menangani Juventus. Penilaian saya tersebut didasari oleh kegagalannya saat berada di AC Milan. Tetapi pandangan saya sedikit berubah. Allegri menunjukkan bahwa dirinya adalah seorang pelatih yang tetap memiliki sebuah potensi. Hal tersebut ditunjukkannya saat meracik strategi permainan Juventus saat menghadapi Udinese.

Ketika Andrea Pirlo mengalami cedera dan akan absen dalam waktu yang cukup panjang, saya meragukan performa Juve di pertandingan-pertandingan awal musim ini. Kehilangan seorang Andrea Pirlo itu seperti menyaksikan matinya matahari di dalam sebuah tatanan tata surya. Planet-planet akan bergerak serampangan, tak mengikuti orbitnya. Sebuah akhir dari segala-galanya. Kiamat.

Pendapat barusan saya pandang tidaklah terlalu berlebihan bila kita melihat Juve era Antonio Conte yang teramat mengandalkan “Chuck Norris” di lini tengah. Di samping itu, saya adalah seorang pencinta sepakbola yang skeptis dan pesimistis. Melihat pertandingan pertama kita di bawah kendali Massimiliano Allegri belum mampu membuat optimisme saya bangkit. Semua masih under-perform, meskipun beberapa kawan menyebutkan bahwa hal semacam itu patut dimaklumi. “Masih awal-awal musim.”

The starting eleven that convinced me.
The starting eleven that convinced me.

Saatnya Perubahan

Tetapi kala menonton pertandingan kandang melawan Udinese, hati saya sedikit tergerak. Juventus menampilkan sebuah permainan yang cukup berbeda. Masih tanpa Pirlo, tetapi ruang kosong tersebut bisa tertutup dengan sangat apik. Juventus tak lagi mempertontonkan sebuah orkestra dengan satu konduktor, tetapi sebuah tim pekerja bangunan. Penuh energi dan saling menutup kekurangan masing-masing.

Allegri memang memiliki sebuah perbedaan besar bila dibandingkan dengan Antonio Conte. Pelatih yang terakhir saya sebut cenderung bergantung pada daya kreativitas seorang Andrea Pirlo, membuat Juve menjadi sebuah tim yang Pirlo-sentris. Tak ada yang salah memang, karena Pirlo adalah pusat semesta dari sebuah kesebelasan, tetapi ketiadaan Pirlo di tengah lapangan akibat cedera membuat Allegri wajib memikirkan cara untuk menutup celah tersebut.

Pereyra lagi-lagi berhasil menjadi pemain baru yang mencuri hati saya setelah Kingsley Coman.

Saya melihat bahwa Allegri menjalankan pola klasik 3-5-2, tetapi sang chef tetap memberikan beberapa bumbu khusus yang membuat Juventus memiliki rasa baru. Claudio Marchisio ditugaskan untuk tetap tinggal di belakang dan mengawal tiga pemain bertahan yang saat itu diisi Martin Caceres, Leonardo Bonucci, dan Angelo Ogbonna. Ia diminta oleh Allegri untuk menjalankan sebuah peran yang kita kenal dengan nama “Makelele Role”, tetap berjaga di bagian tengah demi menyambung bola dari lini belakang ke divisi penyerangan.

Marchisio is definitely the center of the universe.
Marchisio is definitely the center of the universe.

Pola permainan pun kerap memiliki perubahan. Saya melihat Juve kerap bermain dengan posisi 4-4-2 saat akan memulai sesi menyerang. Marchisio mundur menjemput bola dan membuat Caceres dan Ogbonna melebar, masing-masing menjadi bek kanan dan kiri. Stephan Lichsteiner dan Patrice Evra secara otomatis menjadi gelandang kanan dan kiri. Hal ini membuat dua gelandang lainya, yaitu Pogba dan Roberto Pereyra, memiliki kebebasan dalam mengeksploitasi ruang. Pereyra lagi-lagi berhasil menjadi pemain baru yang mencuri hati saya setelah Kingsley Coman.

Ketika Pogba atau Pereyra berubah fungsi, pola permainan kembali ke semula. Marchisio sudah kembali menjadi pemain tengah dan memgisi ruang kosong yang ditinggalkan dua rekannya tersebut. Peran yang dijalankan oleh Marchisio sedikit mirip dengan yang dilakukan oleh Pirlo. Allegri lagi-lagi menepati ucapannya untuk menjadikan Marchisio sebagai sentralnya Juventus selama Pirlo berada di pusat pemulihan cedera.

Energi dan Era Tanpa Pirlo

Marchisio tentu tidak akan menjadi seorang Pirlo, karena keduanya jelas berbeda dari berbagai sudut pandang. Tetapi ada satu hal yang bisa ditawarkan oleh Marchisio kala menjadi komando, yaitu energi. Saya melihat bahwa trio Marchisio-Pereyra-Pogba bergerak dengan sangat enerjik, dinamis, dan cukup cepat. Pereyra lebih sering menusuk dan memberikan opsi kepada para pemberi umpan, sedangkan Pogba melepaskan tendangan-tendangan spekulatif dari depan gawang atau kotak penalti.

The return of Makelele Role.

Kecepatan ini tidak bisa kita dapatkan kala Pirlo menjadi pusat semestanya. Pergerakan tim cenderung lambat, karena para pemain akan terus mengoper bola kepada sang maestro. Pirlo membutuhkan waktu sejenak untuk menganalisa keadaan, lalu baru meminta bola untuk menuju arah atau pemain tertentu. Tidak ada yang salah dengan hal tersebut, karena Milan dan Juventus sudah menikmat kesuksesan berkat operan-operan ajaib seorang Pirlo. Tetapi saya saat ini melihat Juventus tengah menuju sebuah era baru.

Allegri sejauh ini berhasil memberikan sebuah warna baru di tubuh Juventus. Terlihat jelas bahwa ia ingin memberikan sebuah daya ledak yang dipadu dengan kecepatan dalam setiap strategi yang ia jalankan. Ia ingin agar Juventus menjadi tim popcorn yang baru masak dari microwave, kerap meletup-letup. Allegri sepertinya tengah mempersiapkan sebuah tim yang mampu bermain tanpa Pirlo. Patut diingat, Pirlo sudah tak lagi muda. L’architetto sudah berusia 35 tahun.

Seberapa besarnya rasa cinta kita terhadap Pirlo, pada akhirnya kita harus merelakan dia pergi. Cedera panjang yang kini dialaminya adalah waktu yang tepat bagi kita untuk bisa membiasakan diri. Langkah Allegri sudah benar dengan terus meracik pemain-pemain tengah yang berbeda dari dua pertandingan (entah karena keadaan yang memaksanya atau memang sengaja). Hal tersebut sudah menunjukkan hasil yang cukup baik di dua pertandingan awal musim 2014/2015.

Tetapi Allegri sepertinya bukanlah seekor keledai yang dua kali jatuh di lubang yang sama. Ia sepertinya mengerti seberapa besar Pirlo-effect di dalam sebuah tim. Namun lebih daripada itu, saya ingin agar Allegri tetap mempertahankan daya kreativitasnya.

Forza Juve!!

Gambar dari Whoscored.com